Bayan KLU - Bayan adalah suatu Kecamatan di wilayah kabupaten yang paling muda di Pulau Lombok yaitu Kabupaten Lombok Utara, dengan letak geografis berada pada posisi bagian tenggara berbataskan dengan wilayah Kabupaten Lombok Timur (Desa Sajang). Bayan merupakan pusat tradisi kebudayaan kuno di gumi sasak (Pulau Lombok-pen).
Pada jaman kerajaan Bayan merupakan salah satu kerajaan besar yang memiliki pengaruh baik budaya maupun bahasa di Lombok bagian utara. Pengaruh tersebut terlihat dari terbentuknya rumpun adat dan bahasa yang di kenal dengan Rumpun Petung Bayan. Hal ini terlihat jelas dari dialek bahasa.
Tradisi-tradisi adat masih bertahan dan terjaga dengan baik di wilayah ini. Salah satu contohnya adalah Prosesi Maulid Adat yang masih terjaga hingga saat ini dan akan terus dilestarikan.
Perhitungan berdasarkan
‘Sereat’ (Syari’at) Adat Gama di Bayan “Mulud Adat Bayan” dilaksanakan
pada dua hari setelah ketepan Kalender Islam Maulid Nabi tgl.12 Rabi’ul
Awal tepatnya dimulai pada tanggal 14-15 Rabi’ul Awal yang tahun 2013 ini jatuh
pada tanggal 26-27 Januari.
Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya
yang dikenal dengan istilah “kayu aiq”. Sementara pada hari kedua do’a
dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan. Prosesi
pelaksanaan Mulud adat Bayan dilakukan oleh warga Desa Loloan, Anyar,
Sukadana, Senaru, Karang Bajo dan Desa Bayan. Semua desa tersebut merupakan kesatuan wilayah adat yang disebut dengan Komunitas Masyarakat Adat Bayan.
Sejak pagi buta, 14 Rai’ul Awal, komunitas adat Bayan menuju sebuah
kampu yaitu sebuah rumah yang diyakini sebagai area pertama didiami oleh
suku Sasak Islam Bayan. Mereka membawa dan menyerahkan sebagian sumber
pengahasilannya dari hasil bumi seperti padi, beras, ketan, kelapa,
kemiri, sayur-sayuran buah-buahan dan hewan ternak berserta batun
dupa (uang) dan menyertakan nazarnya kepada inan meniq, yaitu seorang
perempuan yang dipercaya untuk menerima dan mengolah hidangan yang
disajikan kepada para kiyai, penghulu dan tokoh adat pada hari puncak
perayaan mulud adat.
Hal ini dilakukan sebagai tanda syukur atas keberhasilan panennya.
Kemudian inan menik memberikan tanda di dahi warga adat dengan mamaq
dari sirih sebagai ritual adat yang dikenal dengan nama menyembek.
Setelah itu, komunitas adat Bayan saling bahu membahu membersihkan
tempat yang disebut balen unggun atau tempat sekam dan balen tempan
(alat menumbuk padi) serta membersihkan rantok (tempat menumbuk padi)
yang dibawa oleh komunitas adat. Prosesi inipun dilanjutkan dengan
membersihkan tempat gendang gerantung yang akan disambut oleh sebagian
kelompok komunitas adat. Setibanya gendang gerantung pada tempat yang
disediakan, acara ritual dilanjutkan dengan selamatan penyambutan dan
serah terima dengan ngaturan lekes buaq (sirih dan pinang) sebagai tanda
taikan mulud atau rangkaian maulid adat dimulai.
Sekitar pukul 15.30 Wita, waktu itu disebut dengan gugur kembang
waru, para wanita adat mulai melakukan kegiatan menutu pare (menumbuk
padi) bersama-sama secara berirama dengan menggunakan tempat yang
terbuat dari bambu panjang. Padi tersebut ditumbuk pada lesung seukuran
perahu yang disebut menutu.
Pada saat bersamaan, ritual menutu pare
ini diiringi dengan gamelan gendang gerantung khas Desa Bayan. Di sisi
lain, kaum laki-laki beramai-ramai mencari bambu tutul untuk dijadikan
tiang umbul-umbul (penjor) yang akan dipasang pada setiap pojok masjid
kuno Bayan. Acara ini dikenal dengan nama pemasangan tunggul yang
dipimpin oleh seorang pemangku atau Melokaq Pengauban. Ini dilakukan
setelah mendapat restu dari inan meniq dengan menyediakan lekok buaq.
Ritual ini dijadikan sebagai media betabiq (penghormatan) pada pohon
bambu yang akan ditebang.
Malam harinya bertepatan
dengan bulan purnama dimana tunggul (umbul-umbul) sudah terpasang pada
setiap pojok masjid Kuno,para pemimpin Adat dan Agama mulai
“Ngengelat” yaitu mendandani dalam ruangan Masjid Kuno dengan
simbol-simbol sarat makna,dan setelah itu disaat para pemain gamelan sudah
memasuki halaman Masjid Kuno Bayan pertanda acara bertarungnya dua
orang warga pria dengan menggunakan rotan (Temetian) sebagai alat pemukul dan
perisai sebagai pelindungnya yang terbuat dari kulit sapi, akan segera dimulai,
permainan yang biasa disebut “Presean” ini biasa dilakukan oleh para “Pepadu”
atau orang yang dihandalkan dalam permainan ini, namun pada acara Mulud Adat
ini siapa saja yang ingin dipersilahkan, atau warga yang bernadzar bahwa ketika
Mulud Adat dia akan bertarung. Permainan yang dihelat tepat didepan
Masjid Kuno Bayan ini, tidak didasari rasa dendam dan merasa jagoan namun
bagian dari ritual dan hiburan dan apabila salah satu pemain terluka,
atau mengundurkan diri keduanya harus meminta maaf dengan bersalaman seusai
permainan. Ini merupakan tradisi ritual dan hiburan Mulud Adat yang
dilakukan sejak berabad-abad lamanya.
Seusai acara “Temetian” atau
“Presean” para pemimpin Adat,pemimpin Agama besrta tokoh-tokoh masyarakat
lainnya dan terbuka bagi siapapun yang ingin ikut serta pada berkumpul di
“Berugaq Agung” untuk saling bercerita lepas dan berdiskusi serta berwacana
tentang segala hal.
Pada hari kedua 15 Rabi’ul
awal warga perempuan adat memulai kegiatannya dengan
“menampiq beras” yaitu membersihkan beras yang telah di “Tutu” atau di “Rantok”
yang dilanjutkan dengan acara “Misoq Beras” (mencuci beras) dengan
iring-iringan panjang para perumpuan adat dengan rapi berbaris dengan bakul
beras dikepala menuju sebuah mata air Lokoq Masan Segah namanya yang memang
dikhusukan untuk mencuci beras dikala ritual dilaksanakan, jarak mata air ini
sekitar 400 meter dari ‘Kampu”. Prasayarat para pencuci beras ini adalah
perempuan dalam keadaan suci (tidak dalam masa haid),sepanjang jalan berpantang
untuk berbicara, tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan. Setelah
beras dicuci lalu dimasak menjadi nasi tibalah saatnya untuk “Mengageq”
yaitu menata hidangan diatas sebuah tempat yang dibuat dan dirancang sedemikian
rupa yang disebut “Ancaq”.
Pada sore harinya, “Praja
Mulud” atau para pemuda Adat yang telah didandani menyerupai dua pasang
pengantin diring bersama-sama dari rumah “Pembekel Beleq Bat Orong”
(Pemangku adat dari Bayan Barat) menuju Masjid Kuno dengan membawa sajian yang
berupa hidangan seperti nasi dan lauk pauknya . “Praja Mulud” ini mengambarkan
proses terajdinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa, yang disimbolkan
dengan pasangan penganten yang dilakukan oleh pranata-pranata adat Bayan.
Setibanya di masjid lalu salah
seorang pemuka agama memimpin do’a. Seusai do’a acara dilanjutkan dengan makan
bersama yang dikuti para jama’ah atau warga adat yang datang kemudian
untuk menyantap hidangan yang telah disediakan.ini merupakan wujud rasa syukur
warga adat sasak Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi puncak acara
perayaan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W yang dirayakan secara adat Bayan.
Bayan dan “Pemaliq Leket”
Bayan yang terletak di
Kabupaten Lombok Utara merupakan daerah awal masuknya Islam di Pulau Lombok,
yang dibawa oleh para Wali Songo terbukti dari adanya Masjid Kuno Bayan sebagai
masjid pertama dan menjadi pusat penyebaran agama Islam pada abad ke 16
di Pulau Lombok, kemudian terjadilah penggabungan antara adat sasak dan agama
Islam. Di areal masjid yang bentuk bangunannya masih sangat tradisional ini
dikelilingi oleh beberapa maqam para leluhur penyebar agama Islam di Pulau
Lombok seprti maqam Gauz Abdul Razak yang disebut makam Reaq
terletak di barat daya masjid,maqam Titik Mas Pelawangan di bagian selatan
masjid,maqam Titik Mas Penghulu dibagian timur laut masjid berderet kearah
barat maqam Sesait,maqam Karang Salah dan Makam Desa Anyar.
Konstruksi atap masjid kuno
Bayan mencerminkan tingginya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
masyarakat adat Bayan. Atap bangunan dengan kemiringan yang sangat tajam
tampaknya mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah.
Menapaki pintu masjid ini para
pemeluk menunjukkan penghormatannya pada sang Khaliq dengan berjalan menunduk.
Memang pintu masjid itu nyaris tidak tampak karena atapnya yang menjurai
kebawah sekitar satu meter dari permukaan tanah. Ini membuat orang yang masuk
mau tak mau harus menundukkan kepala. Sikap menunduk ditambah larangan-larangan
tadi, adalah symbol penghormatan dan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Kuasa,
bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khaliq, dan shalat itu juga
sebenarnya cara menghambakan diri pada Sang Pencipta. Atas kehendaknya manusia
itu ada, dan kepada-Nya pula manusia akan kembali.
“Pemaliq Leket” adalah sesuatu
yang tabu untuk dilakukan,apabila dilanggar maka akan berdampak kepada
kemalangan bagi pelanggarnya dalam bahasa Sasak pada umumnya juga disebut
“Tulah Manuh” atau Kualat. Ketaatan masyarakat adat Bayan terhadap adat
dan agama itu terlihat pula saat mengunjungi tempat tinggal para pimpinannya.
Misalnya untuk memasuki kampu yang dihuni tokoh agama (Maq Lebe dan Inaq Lebe)
dan tokoh Adat (Maq Lokaq dan Inaq Lokaq) siapapun dia harus menngenakan
pakaian adat Sasak Bayan seperti sarung,ikat kepala (sapuq) dan tanpa baju bagi
para pria, serta semacam kemban (jawa) untuk wanita. Selain itu komunitas adat
Bayan juga dilarang memakai pakaian dalam dan perhiasan. Aturan yang sama
berlaku juga bila orang memasuki masjid kuno.
Demikianlah prosesi mulud Nabi
ala adat Bayan, yang bagi peneliti kelebihan Bayan mungkin menjadi inspirasi
dan media keilmuan yang tiada berkesudahan. Bagi para tamu pengunjung,dari
Bayan mereka akan memperoleh suguhan unik dan sarat makna yang dimanapun dan
kapanpun tidak dapat dijumpai di luar Pulau Lombok .
Semoga kelestarian budaya ini tetap terjaga...
Dari berbagai sumber
Photo Oleh PRADA