Selasa, 05 Februari 2013

Menengok Tradisi Maulid Adat Bayan


Bayan KLU - Bayan adalah suatu Kecamatan di wilayah kabupaten yang paling muda di Pulau Lombok yaitu Kabupaten Lombok Utara, dengan letak geografis berada pada posisi bagian tenggara berbataskan dengan wilayah Kabupaten Lombok Timur (Desa Sajang). Bayan merupakan pusat tradisi kebudayaan kuno di gumi sasak (Pulau Lombok-pen). 

Pada jaman kerajaan Bayan merupakan salah satu kerajaan besar yang memiliki pengaruh baik budaya maupun bahasa di Lombok bagian utara. Pengaruh tersebut terlihat dari terbentuknya rumpun adat dan bahasa yang di kenal dengan Rumpun Petung Bayan. Hal ini terlihat jelas dari dialek bahasa.

Tradisi-tradisi adat masih bertahan dan terjaga dengan baik di wilayah ini. Salah satu contohnya adalah Prosesi Maulid Adat yang masih terjaga hingga saat ini dan akan terus dilestarikan.

Perhitungan berdasarkan ‘Sereat’ (Syari’at) Adat Gama di Bayan  “Mulud Adat Bayan” dilaksanakan pada dua hari setelah ketepan Kalender Islam  Maulid Nabi tgl.12 Rabi’ul Awal tepatnya dimulai pada tanggal 14-15 Rabi’ul Awal yang tahun 2013 ini jatuh pada tanggal 26-27 Januari.

Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya yang dikenal dengan istilah “kayu aiq”. Sementara pada hari kedua do’a dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan. Prosesi pelaksanaan Mulud adat Bayan dilakukan oleh warga Desa Loloan, Anyar, Sukadana, Senaru, Karang Bajo dan Desa Bayan. Semua desa tersebut merupakan kesatuan wilayah adat yang disebut dengan Komunitas Masyarakat Adat Bayan.

Sejak pagi buta, 14 Rai’ul Awal, komunitas adat Bayan menuju sebuah kampu yaitu sebuah rumah yang diyakini sebagai area pertama didiami oleh suku Sasak Islam Bayan. Mereka membawa dan menyerahkan sebagian sumber pengahasilannya dari hasil bumi seperti padi, beras, ketan, kelapa, kemiri, sayur-sayuran buah-buahan dan hewan ternak berserta batun dupa (uang) dan menyertakan nazarnya kepada inan meniq, yaitu seorang perempuan yang dipercaya untuk menerima dan mengolah hidangan yang disajikan kepada para kiyai, penghulu dan tokoh adat pada hari puncak perayaan mulud adat.

Hal ini dilakukan sebagai tanda syukur atas keberhasilan panennya. Kemudian inan menik memberikan tanda di dahi warga adat dengan mamaq dari sirih sebagai ritual adat yang dikenal dengan nama menyembek. Setelah itu, komunitas adat Bayan saling bahu membahu membersihkan tempat yang disebut balen unggun atau tempat sekam dan balen tempan (alat menumbuk padi) serta membersihkan rantok (tempat menumbuk padi) yang dibawa oleh komunitas adat. Prosesi inipun dilanjutkan dengan membersihkan tempat gendang gerantung yang akan disambut oleh sebagian kelompok komunitas adat. Setibanya gendang gerantung pada tempat yang disediakan, acara ritual dilanjutkan dengan selamatan penyambutan dan serah terima dengan ngaturan lekes buaq (sirih dan pinang) sebagai tanda taikan mulud atau rangkaian maulid adat dimulai.

Sekitar pukul 15.30 Wita, waktu itu disebut dengan gugur kembang waru, para wanita adat mulai melakukan kegiatan menutu pare (menumbuk padi) bersama-sama secara berirama dengan menggunakan tempat yang terbuat dari bambu panjang. Padi tersebut ditumbuk pada lesung seukuran perahu yang disebut menutu.

Pada saat bersamaan, ritual menutu pare ini diiringi dengan gamelan gendang gerantung khas Desa Bayan. Di sisi lain, kaum laki-laki beramai-ramai mencari bambu tutul untuk dijadikan tiang umbul-umbul (penjor) yang akan dipasang pada setiap pojok masjid kuno Bayan. Acara ini dikenal dengan nama pemasangan tunggul yang dipimpin oleh seorang pemangku atau Melokaq Pengauban. Ini dilakukan setelah mendapat restu dari inan meniq dengan menyediakan lekok buaq. Ritual ini dijadikan sebagai media betabiq (penghormatan) pada pohon bambu yang akan ditebang.

Malam harinya bertepatan dengan bulan purnama  dimana tunggul (umbul-umbul) sudah terpasang pada setiap pojok masjid Kuno,para pemimpin Adat dan Agama mulai  “Ngengelat”  yaitu mendandani dalam ruangan Masjid Kuno dengan simbol-simbol sarat makna,dan setelah itu disaat para pemain gamelan sudah memasuki  halaman Masjid Kuno Bayan pertanda acara bertarungnya dua orang warga pria dengan menggunakan rotan (Temetian) sebagai alat pemukul dan perisai sebagai pelindungnya yang terbuat dari kulit sapi, akan segera dimulai, permainan yang biasa disebut “Presean” ini biasa dilakukan oleh para “Pepadu” atau orang yang dihandalkan dalam permainan ini, namun pada acara Mulud Adat ini siapa saja yang ingin dipersilahkan, atau warga yang bernadzar bahwa ketika Mulud Adat dia akan bertarung.  Permainan yang dihelat tepat didepan Masjid Kuno Bayan ini, tidak didasari rasa dendam dan merasa jagoan namun bagian dari ritual dan  hiburan dan apabila salah satu pemain terluka, atau mengundurkan diri keduanya harus meminta maaf dengan bersalaman seusai permainan. Ini merupakan tradisi ritual dan  hiburan Mulud Adat yang dilakukan sejak berabad-abad lamanya.
Seusai acara “Temetian” atau “Presean” para pemimpin Adat,pemimpin Agama besrta tokoh-tokoh masyarakat lainnya dan terbuka bagi siapapun  yang ingin ikut serta pada berkumpul di “Berugaq Agung” untuk saling bercerita lepas dan berdiskusi serta berwacana tentang segala hal.
Pada hari kedua 15 Rabi’ul awal warga perempuan adat memulai kegiatannya dengan “menampiq beras” yaitu membersihkan beras yang telah di “Tutu” atau di “Rantok” yang dilanjutkan dengan acara “Misoq Beras” (mencuci beras) dengan iring-iringan panjang para perumpuan adat dengan rapi berbaris dengan bakul beras dikepala menuju sebuah mata air Lokoq Masan Segah namanya yang memang dikhusukan untuk mencuci beras dikala ritual dilaksanakan, jarak mata air ini sekitar 400 meter dari ‘Kampu”. Prasayarat para pencuci beras ini adalah perempuan dalam keadaan suci (tidak dalam masa haid),sepanjang jalan berpantang untuk berbicara, tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan.  Setelah beras dicuci lalu dimasak menjadi nasi tibalah saatnya untuk “Mengageq”  yaitu menata hidangan diatas sebuah tempat yang dibuat dan dirancang sedemikian rupa yang disebut “Ancaq”.
Pada sore harinya, “Praja Mulud” atau para pemuda Adat yang telah didandani menyerupai dua pasang pengantin  diring bersama-sama  dari rumah “Pembekel Beleq Bat Orong” (Pemangku adat dari Bayan Barat) menuju Masjid Kuno dengan membawa sajian  yang berupa hidangan seperti nasi dan lauk pauknya . “Praja Mulud” ini mengambarkan proses terajdinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa, yang disimbolkan dengan pasangan penganten yang  dilakukan oleh pranata-pranata adat Bayan.
Setibanya di masjid lalu salah seorang pemuka agama memimpin do’a. Seusai do’a acara dilanjutkan dengan makan bersama yang dikuti para jama’ah atau warga adat  yang datang kemudian untuk menyantap hidangan yang telah disediakan.ini merupakan wujud rasa syukur warga adat sasak  Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi puncak acara perayaan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W yang dirayakan secara adat  Bayan.
Bayan dan “Pemaliq Leket”
Bayan yang terletak di Kabupaten Lombok Utara merupakan daerah awal masuknya Islam di Pulau Lombok, yang dibawa oleh para Wali Songo terbukti dari adanya Masjid Kuno Bayan sebagai masjid pertama dan menjadi pusat penyebaran agama Islam pada abad ke 16  di Pulau Lombok, kemudian terjadilah penggabungan antara adat sasak dan agama Islam. Di areal masjid yang bentuk bangunannya masih sangat tradisional ini dikelilingi oleh beberapa maqam para leluhur penyebar agama Islam di Pulau Lombok seprti  maqam Gauz  Abdul Razak yang disebut makam Reaq terletak di barat daya masjid,maqam Titik Mas Pelawangan di bagian selatan masjid,maqam Titik Mas Penghulu dibagian timur laut masjid berderet kearah barat maqam Sesait,maqam Karang Salah dan Makam Desa Anyar.
Konstruksi atap masjid kuno Bayan mencerminkan tingginya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat adat Bayan. Atap bangunan dengan kemiringan yang sangat tajam tampaknya mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah.
Menapaki pintu masjid ini para pemeluk menunjukkan penghormatannya pada sang Khaliq dengan berjalan menunduk. Memang pintu masjid itu nyaris tidak tampak karena atapnya yang menjurai kebawah sekitar satu meter dari permukaan tanah. Ini membuat orang yang masuk mau tak mau harus menundukkan kepala. Sikap menunduk ditambah larangan-larangan tadi, adalah symbol penghormatan dan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khaliq, dan shalat itu juga sebenarnya cara menghambakan diri pada Sang Pencipta. Atas kehendaknya manusia itu ada, dan kepada-Nya pula manusia akan kembali.
Pemaliq Leket” adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan,apabila dilanggar maka akan berdampak kepada kemalangan bagi pelanggarnya dalam bahasa Sasak pada umumnya juga disebut “Tulah Manuh” atau Kualat.  Ketaatan masyarakat adat Bayan terhadap adat dan agama itu terlihat pula saat mengunjungi tempat tinggal para pimpinannya. Misalnya untuk memasuki kampu yang dihuni tokoh agama (Maq Lebe dan Inaq Lebe) dan tokoh Adat (Maq Lokaq dan Inaq Lokaq) siapapun dia harus menngenakan pakaian adat Sasak Bayan seperti sarung,ikat kepala (sapuq) dan tanpa baju bagi para pria, serta semacam kemban (jawa) untuk wanita. Selain itu komunitas adat Bayan juga dilarang memakai pakaian dalam dan perhiasan. Aturan yang sama berlaku juga bila orang memasuki masjid kuno.
Demikianlah prosesi mulud Nabi ala adat Bayan, yang bagi peneliti kelebihan Bayan mungkin menjadi inspirasi dan media keilmuan yang tiada berkesudahan. Bagi para tamu pengunjung,dari Bayan mereka akan memperoleh suguhan unik dan sarat makna yang dimanapun dan kapanpun tidak dapat dijumpai di luar Pulau Lombok .
  
Semoga kelestarian budaya ini tetap terjaga... 
Dari berbagai sumber
Photo Oleh PRADA

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang di terima sebelumnya akan di saring untuk memenuhi kelayakan, apabila di nyatakan tidak layak di tampilkan maka kami akan menghapusnya. Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Sasak Culture | Bloggerized by Adi [ Sasak Culture ] - Media Independent | Blog Pribadi